1.
Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan
inkusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus
cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang di sebut
Bhinneka Tunggal Ika. Filisofi ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan
manusia,baik kebhinnekaan vertikal maupun horizontal yang mengemban misi
tunggal sebagai umat tuhan di bumi( abdulrahman,2003) . filsafat pancasila
dapat di pahami sebagai pandangan atau falsafah yang mendasari berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia . pancasila sebagai dasar Negara juga sering
di sebut denagan istilah dasar falsafah Negara dan ideology Negara. Pancasila
digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Hal ini juga sesuai dengan
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kalimatnya “ maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, denagn
berdsar kepada ketuhanan Yang Maha Esa.
Fondasi Pancasila sebagai falsafah
Negara tertuang dalam bingkai kebhinnekaan kita yang terlahir sebagai bangsa
yang majemuk dan heterogen dalam segala aspek kehidupan .kita yang terlahir
sebagai bangsa yang majemuk dan heterogen dalam segala aspek kehidupan .jika
ada sentiment terhadap keberadaan kita,naik karena keterbatasan fisik maupun mental,
itu sama saja dengan menolak kebhinnekaan Indonesia. Kebhinnekaan memberikan arti bahwa kita tidak
boleh terjebak pada keberagaman yang terlampau manjukang karena semangat
persatuan dan sikap saling menghargai merupakan potensi luar biasa yang
tertuang dalam falsafah bangsa.
Sebagai landasan filosofi
kebhinnekaan memiliki dua cara pandang, yaitu kebhinnekaan vertikal dan
kebhinnekaan horizontal .kebhinnekaan vertikal di tandai dengan perbedaan
kecerdasan,kekuatan fisik, kemampuan financial,kepangkatan,kemampuan
pengendalian diri dan lain sebagainya. Sementara kebhinnekaan horizontal di
warnai dengan perbedaan suku bangsa ,ras,bahasa,budaya,agama,tempattinggal,daerah
dan afilisasi politik. Walaupun diwarnai dengan keberagaman,dengan kesaman misi
yang di emban, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interksi .apek
vertikal dan horizontal dalam kebhinnekaan sesungguhnya merupakan bagian
penting dalam landasan pendidikan inklusif yang merangul semua kalangan untuk
bersatu padu dalam bingkaikeberagaman.
Bertolak dari filosofi Bhinneka
Tunggal Ika , kelainan (kecacatan)dan keberbakatan hanyalah satu bentuk
kebhinnekaan sepeti halnya perbedaan suku,ras,bahasa budaya, atau agama. Hal
ini harus diwujudkan dalam sistem
pendidikan. Harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa
yang beragam sehingga mendorong sikap silih asih.silih asah dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang
dijumpai atau di cita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis
dalam pelaksanaan pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan hierarki,
undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jenderal, hingga
peraturan sekolah. Fungsi landasan yuridis ini adalah untuk memperkuat argumen
tentang pelaksanaan pendidikan inklusif yang menjadi bagian penting dalam
menunjang kesempatan dan peluang bagi anak berkebutuhan khusus. Disebabkan
mengandung nilai-nilai hierarki, landasan yuridis tidak boleh melanggar secara
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan pendidikan
inklusif bagi semua kalangan anak yang membutuhkan landasan hukum demi
terjaminnnya masa depan pendidikan mereka kelak.
Penyelenggaraan
pendidikan inklusif juga berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan internasional
yang berkenaan dengan pendidikan. Landasan yuridis internasional tentang
penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh
para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali
atas Deklarasi PBB tentang HAM 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang
berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama
bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagiian integral dari
sistem pendidkan yang ada. Dalam kesempatan tersebut, juga dinyatakan bahwa
pendidikan hak untuk semua (education for all), tidak memandang apakah
seseorang memiliki hambata atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan tidak
memandang perbedaan ras, warna kulit, maupun agama.
Sementara di Indonesia,
penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013
tentang Sistem pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta
didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara
inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelanggaraan, tentunya akan
diatur dalam bentuk peraturan operasional. Maka, pendidikan inklusif sebisa
mungkin dapat diintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk
segregasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan (education).
Dengan melibatkan
landasan reguler yuridis tersebut, tidak ada kata menolak bagi sekola-sekolah
reguler untuk menerima anak berkebutuhan khusus (ABK). Namun realitas yang
terjadi, banyak sekolah-sekolah yang tidak mau menerima anak berkebutuhan
khusus dengan berbagai alasan. Penunjukan bukanlah sebagai tujuan, yang
terpenting adalah nilai ibadah dengan mendidik mereka (anak berkebutuhan
khusus). Namun juga terbesit harapan kiranya pemeritah lebih memerhatikan lagi
(Fauzan, 2006: 2-3).
3.
Ladasan Pedagogis
Pada pasal 3
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk
menjadi warga negara yang demokratis, bertanggung jawab, yaitu individu yang
mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat (Abdulrahma,
2003).
Dengan jaminan
Undang-Undang ini, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan
khusus akan semakin berkembang dan terlaksana sesuai dengan rencana awal yang
ingin membimbing tunanetra menjadi manusia-manusia potensial dan tangguh dalam
menghadapi segala tantangan hidup di masa depan. Apalagi saat ini, kita sudah
memasuki dunia baru yang lebih menantang kita untuk berjuang melawan segala
bentuk kebebasan yang pada akhirnya dapat menghambat cita-cita luhur bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
4.
Landasan Empiris
Penelitian tentang
inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara Barat sejak 1980-an, namun
penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya
menunjukan bahwa klasifikasi dan penemuan anak berkelainan di sekolah, kelas,
atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini
merekomendasikan agar pendidkan khusus secara segregatif hanya diberikan
terbatas berdasarkan hasil indentifikasi yang tepat (Heller, Holtzman, & Messick,
1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bakwa sangat sulit untuk melakukan
identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat karena karakteristik
mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Welberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis
(analisis lanjut) atau hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) teradap 50 tindakan penelitian Wang
dan Baker (1985/1986) terhadap 11 tindakan penelitian, dan Baker (1994)
terhadap 13 penelitian menunjukan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif,
baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman
sebayanya.
B.
Faktor
– Faktor Penghambat Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Menurut
penelitian yang dilakukan Sunardi (2009) dalam Dede Supriyanto (2012) yang
telah melakukan penelitian terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di
Kabupaten kota Bandung saat ini terdapat lima kelompok yang perlu dicermati dan
diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya, tidak bisa, atau bahkan
menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, permasalahan tersebut antara lain
yaitu:
1.
Belum
didukung dengan system dukung yang memadai, Peran serta orangtua, sekolah
khusus, tenaga ahli, perguruan yinggi-LPTK PLB , dan pemerintah masih dinilai
minimal. Sementara itu fasilitas terhadap anaknya.
2.
Keterlibatan
orangtua sebagai salahsatu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum
terbina dengan baik. Dampaknya orangtua sering bersikap kurang peduli dan
realistis terhadap anaknya.
3.
Peran
SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource
centre bagi sekolah-sekolah inklusi yang dilingkungannya, belum dapat
dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerjasama
maupun alasan geografik.
4.
Peran
ahli diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi dan
pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal.
5.
LPTK
PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam
implementasi terhadap hasil – hasil penelitian belum dapat diwujudkan dengan
baik.
6.
Peran
pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi
inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun bantuan secara
teknis, dinilai masih kurang perhatian dan kurang proaktif terhadap
permasalahan di lapangan.
7.
Kalaupun
pemerintah saat ini mengikutkan guru-guru dalam pelatihan ataupun memberikan
bantuan yang sifatnya fisik atau keuangan, namun jumlahnya masih terbatas dan
belum merata.
8.
Sekolah
umumnya belum didukung fasilitas yang diperlukan untuk endukung aksesbilitas dan keberhasilan
pembelajaran yang memadahi.
C.
Analisis
Pelaksanaan Pendidikan Inkusi di Indonesia
Pendidikan inklusi perlu
diadakan karena melihat gejala yang muncul dimasyarakat akan banyaknya
masyarakat yang mempunyai anak dengan kebutuhan khusus, anak berkebutuhan
khusus mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan
sebagaimana anak pada umumnya. Selain itu, selama ini orang tua anak yang
memiliki kebutuhan khusus cenderung merasa malu dan terkesan “menutup” kondisi
anak mereka yang mana hal ini justru merugikan anak karena mengurangi
kesempatan untuk memperoleh layanan pendidikan yang mereka butuhkan. Pendidikan
Inklusi di SD diharapkan dapat memenuhi akses kebutuhan masyarakat, khususnya
masyarakat yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Dengan adanya pendidikan
inklusi di SD orangtua diharapkan tidak lagi merasa malu dengan kondisi anak
mereka.
Sumber : Tugas Kelompok Makalah Pendidikan Inklusi , dosen pengampu Abdul Rahim,
S.Pd, M.Pd.