Senin, 09 November 2015



1.      Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inkusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang di sebut Bhinneka Tunggal Ika. Filisofi ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusia,baik kebhinnekaan vertikal maupun horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat tuhan di bumi( abdulrahman,2003) . filsafat pancasila dapat di pahami sebagai pandangan atau falsafah yang mendasari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia . pancasila sebagai dasar Negara juga sering di sebut denagan istilah dasar falsafah Negara dan ideology Negara. Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Hal ini juga sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kalimatnya “ maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, denagn berdsar kepada ketuhanan Yang Maha Esa.
Fondasi Pancasila sebagai falsafah Negara tertuang dalam bingkai kebhinnekaan kita yang terlahir sebagai bangsa yang majemuk dan heterogen dalam segala aspek kehidupan .kita yang terlahir sebagai bangsa yang majemuk dan heterogen dalam segala aspek kehidupan .jika ada sentiment terhadap keberadaan kita,naik karena keterbatasan fisik maupun mental, itu sama saja dengan menolak kebhinnekaan Indonesia.  Kebhinnekaan memberikan arti bahwa kita tidak boleh terjebak pada keberagaman yang terlampau manjukang karena semangat persatuan dan sikap saling menghargai merupakan potensi luar biasa yang tertuang dalam falsafah bangsa.
Sebagai landasan filosofi kebhinnekaan memiliki dua cara pandang, yaitu kebhinnekaan vertikal dan kebhinnekaan horizontal .kebhinnekaan vertikal di tandai dengan perbedaan kecerdasan,kekuatan fisik, kemampuan financial,kepangkatan,kemampuan pengendalian diri dan lain sebagainya. Sementara kebhinnekaan horizontal di warnai dengan perbedaan suku bangsa ,ras,bahasa,budaya,agama,tempattinggal,daerah dan afilisasi politik. Walaupun diwarnai dengan keberagaman,dengan kesaman misi yang di emban, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interksi .apek vertikal dan horizontal dalam kebhinnekaan sesungguhnya merupakan bagian penting dalam landasan pendidikan inklusif yang merangul semua kalangan untuk bersatu padu dalam bingkaikeberagaman.
Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika , kelainan (kecacatan)dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinnekaan sepeti halnya perbedaan suku,ras,bahasa budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan  dalam sistem pendidikan. Harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam sehingga mendorong sikap silih asih.silih asah dan silih asuh  dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau di cita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Landasan Yuridis
Landasan yuridis dalam pelaksanaan pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan hierarki, undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jenderal, hingga peraturan sekolah. Fungsi landasan yuridis ini adalah untuk memperkuat argumen tentang pelaksanaan pendidikan inklusif yang menjadi bagian penting dalam menunjang kesempatan dan peluang bagi anak berkebutuhan khusus. Disebabkan mengandung nilai-nilai hierarki, landasan yuridis tidak boleh melanggar secara peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan pendidikan inklusif bagi semua kalangan anak yang membutuhkan landasan hukum demi terjaminnnya masa depan pendidikan mereka kelak.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif juga berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Landasan yuridis internasional tentang penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagiian integral dari sistem pendidkan yang ada. Dalam kesempatan tersebut, juga dinyatakan bahwa pendidikan hak untuk semua (education for all), tidak memandang apakah seseorang memiliki hambata atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan tidak memandang perbedaan ras, warna kulit, maupun agama.
Sementara di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan  pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelanggaraan, tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional. Maka, pendidikan inklusif sebisa mungkin dapat diintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk segregasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan (education).
Dengan melibatkan landasan reguler yuridis tersebut, tidak ada kata menolak bagi sekola-sekolah reguler untuk menerima anak berkebutuhan khusus (ABK). Namun realitas yang terjadi, banyak sekolah-sekolah yang tidak mau menerima anak berkebutuhan khusus dengan berbagai alasan. Penunjukan bukanlah sebagai tujuan, yang terpenting adalah nilai ibadah dengan mendidik mereka (anak berkebutuhan khusus). Namun juga terbesit harapan kiranya pemeritah lebih memerhatikan lagi (Fauzan, 2006: 2-3).

3.      Ladasan Pedagogis
Pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis, bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat (Abdulrahma, 2003).
Dengan jaminan Undang-Undang ini, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus akan semakin berkembang dan terlaksana sesuai dengan rencana awal yang ingin membimbing tunanetra menjadi manusia-manusia potensial dan tangguh dalam menghadapi segala tantangan hidup di masa depan. Apalagi saat ini, kita sudah memasuki dunia baru yang lebih menantang kita untuk berjuang melawan segala bentuk kebebasan yang pada akhirnya dapat menghambat cita-cita luhur  bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

4.      Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara Barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukan bahwa klasifikasi dan penemuan anak berkelainan di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidkan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil indentifikasi yang tepat (Heller, Holtzman, & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bakwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Welberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atau hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) teradap 50 tindakan penelitian Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 tindakan penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 penelitian menunjukan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
B.     Faktor – Faktor Penghambat Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Menurut penelitian yang dilakukan Sunardi (2009) dalam Dede Supriyanto (2012) yang telah melakukan penelitian terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten kota Bandung saat ini terdapat lima kelompok yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya, tidak bisa, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, permasalahan tersebut antara lain yaitu:
1.      Belum didukung dengan system dukung yang memadai, Peran serta orangtua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan yinggi-LPTK PLB , dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas terhadap anaknya.
2.      Keterlibatan orangtua sebagai salahsatu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya orangtua sering bersikap kurang peduli dan realistis terhadap anaknya.
3.      Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi yang dilingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerjasama maupun alasan geografik.
4.      Peran ahli diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal.
5.      LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil – hasil penelitian belum dapat diwujudkan dengan baik.
6.      Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun bantuan secara teknis, dinilai masih kurang perhatian dan kurang proaktif terhadap permasalahan di lapangan.
7.      Kalaupun pemerintah saat ini mengikutkan guru-guru dalam pelatihan ataupun memberikan bantuan yang sifatnya fisik atau keuangan, namun jumlahnya masih terbatas dan belum merata.
8.      Sekolah umumnya belum didukung fasilitas yang diperlukan untuk  endukung aksesbilitas dan keberhasilan pembelajaran yang memadahi.
C.     Analisis Pelaksanaan Pendidikan Inkusi di Indonesia
Pendidikan inklusi perlu diadakan karena melihat gejala yang muncul dimasyarakat akan banyaknya masyarakat yang mempunyai anak dengan kebutuhan khusus, anak berkebutuhan khusus mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sebagaimana anak pada umumnya. Selain itu, selama ini orang tua anak yang memiliki kebutuhan khusus cenderung merasa malu dan terkesan “menutup” kondisi anak mereka yang mana hal ini justru merugikan anak karena mengurangi kesempatan untuk memperoleh layanan pendidikan yang mereka butuhkan. Pendidikan Inklusi di SD diharapkan dapat memenuhi akses kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Dengan adanya pendidikan inklusi di SD orangtua diharapkan tidak lagi merasa malu dengan kondisi anak mereka. 
Sumber : Tugas Kelompok Makalah Pendidikan Inklusi , dosen pengampu Abdul Rahim,

S.Pd, M.Pd.

Islamic Clock


BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

MP3

Popular Posts